Thursday, 13 October 2011

Menapak Jejak Langit


           iseng-iseng bikin ini, terinspirasi dari cerita ibuk, aku pikir-pikir ceritanya dewasa banget yah -____- :)
mau tahu? ayo baca selanjutnya ;D
            Aku, bagaimanapun juga memang hidup di desa. Begitulah kenyataannya. Namun aku tahu bagaimana menyikapi dunia yang sudah merangkak dari zaman purbakala ini. Dimana-mana sudah ada teknologi berkembang. Dari sepeda motor yang dulu dianggap sebagai kuda terbang, hingga kini ada layar kaca tipis yang bisa ditenteng kemana-mana-i-pad-.
            Makin modern, hidupku tetap begini saja. Tetapi bisa kubilang lebih maju ketimbang orang tuaku yang petani. Paling tidak aku tidak harus berkutat dengan lumpur dan kerbau di sawah seperti mereka. Aku hanya perlu duduk manis di depan laptop, menyeruput kopi pahit, dan menyanding setumpuk naskah yang perlu diedit. Pekerjaanku editor di sebuah penerbit. Herannya aku bukan lulusan sastra ataupun jurusan bahasa. Aku hanya lulusan dari fakultas Psikologi klinis UNPAD. Kalau dituruti harusnya sekarang ini aku duduk nyaman di sofa, menangani kasus seorang pasien yang notabene terkena depresi akibat ditinggal suami yang kawin lagi. Miris membayangkan hal itu terjadi padaku.
            Kembali pada realita, aku sekarang sedang berkutat dengan novel seorang anak muda yang mengisahkan percintaan remaja. Teenlit. Heboh tapi tak berisi. Itulah resiko pekerjaan. Kadang ada yang sangat disukai, tapi seringkali ada yang dibenci setengah hidup. Anak muda ini pintar sekali menggiring cerita. Luar biasa jalan ceritanya. Tak perlu banyak edit. Anak ini pintar menyusun kata-kata. Meringankan pekerjaannku.
            Kulihat jam menunjukkan pukul 00.05 WIB. “ Ah..sial. kehilangan angka kembar”. Aku bergumam. Kadang aku heran,aku begitu suka melihat jam dengan angka kembar. Mungkin karena mitos jika melihat angka kembar berarti ada yang rindu. Tapi aku sendiri sanksi. Siapa juga yang mau susah payah merindukanku tengah malam? Semoga bukan sundel bolong,mak lampir,tuyul ataupun makhluk-makhluk sebangsanya.
            Kumatikan laptop. Aku membawa gelas kopi yang kosong ke dapur, saat melintas di depan kamar ibu dan bapak, aku iseng mengintip. Ternyata mereka sudah tidur. Aku tersenyum lega. Sekarang mereka tak perlu lagi menggiring kerbau dan terkena cipratan lumpur. Sekarang aku dan kedua kakak laki-lakiku telah bekerja. Alhamdulillah mapan. Semua sudah menikah kecuali aku. Tapi umurku masih 25 tahun. Belum layak disebut perawan tua bukan? Tapi ibu sudah mempermasalahkan hal ini sejak seminggu yang lalu. Gara-gara si Hani, sahabat sebangku masa SMA ku itu menikah. Ibu heboh bukan main. Minta aku segera menyusul. Aku cuma tersenyum. Ibu ini, calon saja aku belum punya. Tapi ibu tidak kehabisan akal. Saat datang ke pernikahan hani, ibu mengutil bunga melati di rambut pengantin perempuan dan memberikannya padaku. “ Biar ketularan cepet nikah “. Kata ibu. Aku merengut. Memang ada kepercayaan orang jawa, kalau mau cepat menikah, silahkan anda mengutil bunga melati di rambut pengantin. Aku seringkali memikirkan hal ini, bukan untuk mengkaji kebenarannya tapi lebih pada rasa kasihan pada pengantin yang membayar mahal untuk menghias rambutnya dengan bunga melati.
            Barangkali ibu memang belum puas hanya dengan memberiku barang hasil mengutil itu. Keesokan harinya beliau menemui bude Sri. Bude Sri ini bisa dibilang mak comblang di dusun kami. Tuhaaan.. rasanya ibuku itu punya 1001 cara mencarikanku jodoh.
            Bude sri sejatinya masih saudara jauh bapak. Umurnya juga tak jauh berbeda dengan ibu. Mereka berdua sangat cocok, apalagi untuk rencana perjodohanku ini. Aku mencuri dengar apa yang mereka bicarakan. Tapi ampun.. rencana mereka lebih keren daripada rencana penyerbuan musuh. Terencana, rapi, dan yang paling penting untuk mereka, aku tidak berhasil memperoleh informasi secuil pun.
            Aku sempat berencana kabur dari rumah seperti yang sering aku lihat di sinetron-sinetron indonesia. Tapi setelah menimbang-nimbang, aku yang rugi kalau sampai kabur dari rumah. Aku berusaha keras menolak perjodohan. Aku masih mau terbang bebas, menghirup udara bebas. Menapaki jalanku sendiri. Aku belum siap harus berbagi kehidupan dengan orang lain.
Hingga akhirnya hari itu tiba. Hari dimana aku duduk di ruang tamu. Memakai gamis warna merah jambu, tak lupa memakai jilbab warna serupa. Kelihatan kalem. Aku hampir saja membodoh-bodohkan diriku dengan acara perjodohan ini, kalau saja laki-laki itu tidak setampan pemain film favoritku.
Aku dipertemukan dengan seorang lelaki yang umurnya hanya selang 3 tahun denganku. Namanya Adam. Dia bekerja di bidang yang sama denganku. Juga berkutat dengan dunia penerbitan. Tapi dia lebih beruntung, jabatannya itu mentereng. Menejer. Selama beberapa jam aku diam saja. Hanya menjawab jika ditanya. Mengapa aku jadi orang bodoh dalam sekejap? Seakan aku ini keledai yang sudah dicocok hidungnya. Diajak makan mau, diajak masuk jurang juga tidak menolak. Kemarin, saat aku minta ijin tidak masuk kerja hari ini pada bu Rina – bosku-, beliau mentertawakanku. Katanya, “ saya tidak menyangka, ternyata kamu ini keturunan siti nurbaya “.
Sejak hari itu, aku menjalani masa-masa yang kata anak muda PDKT. Entah karena aku bukan termasuk anggota anak muda lagi, jadi aku menjuluki diriku sebagai anak tua. Yang aku lakukan sejauh ini masih wajar. Dan untuk pertama kalinya terbersit rasa di hatiku, aku benar-benar berbahagia karena tidak menolak perjodohan ini. Tapi entahlah, aku tak pernah tahu bagaimana perasaannya. Aku tak pernah mau berspekulasi soal perasaan, tapi jika dia tidak suka denganku, mengapa tak menolak? Kadang dia seperti ayah yang memarahiku karena aku sakit dan bandel tak mau minum obat. Tapi seringkali dia tega tidak mengirim sms seminggu penuh. Begitulah aku benar-benar kembali pada masa-masa remaja yang penuh kegalauan.
 Kami akan menikah, tapi sama sekali tidak tahu perasaan masing-masing. Aku lelah. Aku terlalu takut mencintai laki-laki ini lebih jauh. Pada dasarnya aku takut selama ini hanya mencintai tapi tidak dicintai. Kesannya kasusku ini sinetron sekali. Dimana-mana wanita kodratnya dipilih dan menunggu. Setiap kali aku ingin menyerah, tiba-tiba dia datang seperti pangeran berkuda putih dalam dongeng. Aku tersenyum lagi. Begitu berkali-kali. Tapi tetap saja, aku tak pernah tahu isi hatinya.
Hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk berbicara dengannya yang hasilnya tidak akan pernah aku sesali seumur hidup. Aku berkata, “ saya heran, setiap kali saya memiliki kesempatan berpaling dari anda, anda selalu memberi saya satu kesempatan untuk mencintai anda sekali lagi “. Dan jawabannya cukup membuat dadaku sesak oleh cinta dan keharuan, “ Bukan saya yang membuat kesempatan itu, tetapi diri anda sendiri. Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan untuk seorang wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anak saya. Untuk seorang wanita yang nantinya saya ajak untuk menapaki jejak langit masa depan. Dan untuk itu, saya berusaha agar anda selalu mencintai saya, sesering apapun anda memiliki kesempatan untuk berpaling “. Dia tersenyum. Dan aku menangis haru.

No comments:

Post a Comment