Tuesday 29 November 2011

Diary 1980

Brakkk…. Sebuah buku terjatuh dari atas lemari di belakang Rania yang tengah sibuk membolak-balik buku-buku tebal dihadapannya. Rania secara refleks menoleh kearah asal suara itu. Di dalam gudang yang sunyi, ia tertegun memandangi buku-buku yang jatuh barusan. Rania terbatuk akibat debu-debu nakal yang terbang di hadapannya. Sejurus kemudian,rania mulai melangkah mendekati buku-buku yang terjatuh itu. Matanya tertuju pada sebuah buku tua bersampul coklat bertuliskan tahun 1980. Rania tertarik untuk mengambilnya, tangannya mengangkat buku itu dengan hati-hati, ia membersihkan permukaannya yang penuh debu, ditiupnya debu itu perlahan-lahan. “ Fiuh….”. Rania memandang buku itu dengan penasaran, dibukanya buku tua yang baru saja ditemukaanya itu, kertasnya rapuh, pinggiran kertasnya hancur dimakan rayap, beberapa tulisannya banyak yang tidak bisa dibaca lagi. Mungkin akibat bertahun-tahun tertimbun lembab lemari kayu di gudang ini.
Rania membuka buku itu perlahan, seakan ia tengan membuka kitab suci, aatau sedang membawa artefak kuno di tangannya. Ia mulai membaca catatan-catatan kecil di tiap halamannya,ia duduk menggelosor di lantai gudang, matanya sibuk mencuri-curi kata-kata yang ada. Ia membaca halaman kesembilan belas.

Minggu, 9 Maret 1980

Inilah cinta yang pertama. Kata orang cinta tak pernah datang tiba-tiba. Namun aku tak sepaham. Karena hari ini adalah pertama kalinya aku mengenal sosokmu. Untuk pertama kalinya mengintip kehidupanmu, dan untuk pertama kalinya memandang dirimu dengan sudut hatiku.
Kau berbeda dalam pandanganku. Mengenalmu hari ini seakan membimbingku untuk merajut asa dan menjalin mimpi bersamamu. Mengenalmu menbuatku paham, bahwa hidupku bukan hanya untuk diriku sendiri tapi juga untuk orang lain. Mengenalmu membuatku jdi seperti anak kecil yang ingin terus bernyanyi dan menari-nari karena dibuai kebahagiaan. Seakan aku hidup bukan hanya dengan orang-orang disekitarku. Tapi juga denganmu.
Kata orang, cinta itu semu. Tapi tidak untukku. Cinta itu tiba-tiba saja hidup dalam relungku dan menjadikanku raja yang bisa hidup bersamamu.

Rania tertegun, ia baru sadar bahwa buku itu adalah sebuah diary. Keadaan itu membuatnya merasa bersalah karena telah mengetahui privasi seseorang. Disatu sisi ia penasaran ingin membaca diary itu namun disatu sisi jiwanya mengatakan bahwa apa yang dia lakukan salah. Beberapa lama ia terus bimbang. Malaikat dan setan membisikkan berbagai argumen ditelinganya. Ia terus berkutat dengan banyak pemikiran, baik-buruknya jika ia terus membaca diary yang entah siapa pemiliknya itu.
“ Ah…”. Ia mendesah, keputusannya sudah bulat. Ia akan membaca diary itu hingga selesai. Dalam benaknya, “ Toh..aku juga tak athu siapa pemilik diary ini. Dan aku juga tak akan menyebarkan diary yang sekarang ini sudah berumur sekitar 29 tahun.”. Apa pentingnya ia menyebarkan hal semacam ini?. Rania meneruskan kehalaman-halaman berikutnya, ia ikuti kisahnya. Beberapa halaman ia tinggalkan karena sudah tidak bisa dibaca lagi. Ia buka halaman keempat puluh delapan. Isinya tertulis dengan tinta warna merah. Tertulis rapi dengan huruf latin. Seperti tulisan-tulisan zaman dulu.

Rabu. 20 mei 1981

Memendam asa untuk bersamamu. Itulah yang kulakukan. Memandangmu dari kejauhan,cukup untukku. Tapi siapa yang menyangka, dibalik kuatnya diriku menahan terpaan bertahun-tahun, jiwa dan hatiku rapuh. Namun setiap melihatmu tersenyum, aku selalu berkata dalam hati……………. Aku bertahan. Mampu melawati semua dalam tahun-tahun penantian.
Inilah cinta, aku tak memilikimu secara raga, aku juga tak memiliki apa yang ada pada jiwamu. Tapi melihat senyummu seakan membawa asa. Aku akan terus berdo’a kepada-Nya, suatu saat nanti jiwamu akan merasakan hadirnya diriku yang menantimu.

Rania menahan sesak di dadanya,ia merasakan kekuatan cinta yang begitu besar dari penulisnya. Kata-kata dalam diary itu seakan membawanya hanyut dalam sungai kisah sang penulis yang anonim. Ia merasakan suatu magnet yang membuatnya ingin terus mengetahui kelanjutan kisah cinta mengharukan itu. Ia penasaran siapakah sang pemilik diary. Kembali ia membolak-balik halaman diary itu untuk menemukan identitas sang pemilik. Nihil. Tak ada satupun kata yang menjelaskan keingintahuannya.
Rania begitu terbawa oleh kisah yang ia baca, ia ikut merasakan getaran cinta sang penulis. Ia merasa kisah itu tak asing untuknya. Ia semakin tertantang untuk membaca diary itu hingga selesai. Matanya dengan jeli mengincar tiap kata yang ia rasa indah. Ia tak menyadari dirinya telah berjam-jam lamanya berkutat dengan buku tua bersampul coklat itu.
Rania yang tak pernah suka membaca itu, tiba-tiba tertarik nalurinya. Niat awalnya untuk mencari kamus bahasa Perancis di lemari dalam gudang ia lupakan. Ia telah menemukan hal lain lebih menarik untuk di terjemahkan saraf-saraf motoriknya. Ia membuka halaman ketujuh puluh enam.

Kamis, 8 juli 1982

Tahun - tahun berlalu begitu cepat. Kau masih sama, bidadariku yang begitu indah. Aku masih tetap dengan kebiasaan lamaku, memandang senyummu. Kata orang cinta harus diungkapkan. Itu benar. Aku telah merancang semuanya, aku akan segera mengungkapkan apa yang selama ini terpendam dalam jiwaku kepadamu, bidadariku.
Tunggulah aku, sambutlah aku dengan keyakinan akan ketulusanku. Jangan biarkan lilin yang selama ini aku jaga agar tetap menyala terang, harus padam seketika.

Rania ikut bahagia membaca kisah yang ia baca, artinya cinta dua sejoli itu akan bersatu sebentar lagi. Dan satu hal yang baru ia sadari, ternyata penulis diary itu adalah seorang lelaki. Awalnya ia menduga, diary itu milik seorang wanita, karena yang ia tahu, wanita yang biasanya suka mengabadikan perasaannya dalam tulisan. Ia membuka lembar demi lembar halaman, semakin kebelakang tulisannya makin tak bisa dibaca. Ia menyipitkan matanya saat harus membaca lembaran-lembaran lain. Dalam lembaran kesembilanpuluh, ia menemukan sebuah bros berwarna ungu. Cantik. Bros itu berbentuk bunga dendalion. Rania mmbaca tulisan dihalaman itu.

Benda ini kutemukan dihalaman rumahmu tadi pagi. Aku tahu, ini milikmu. Karena aku sering melihatmu mengenakan bros ini di jilbabmu. Aku ingin mengembalikannya padamu. Tapi tak mungkin. Rasa segan padamu yang teramat sangat membuatku diam, dan tak berani hanya sekedar memberikan bros milikkmu.
Rania tercengang dengan kalimat yang dia baca. “ Katanya mau mengungkapkan perasaan, tapi kenapa seperti ini? “. Ia penasaran dan membuka lembar-lembar sebelumnya. Ia menemukan fakta penting di halaman ketujuhpuluh sembilan.

Minggu, 11 juli 1982
Maafkan ketidakmampuanku mengungkapkan semua. Aku rasa terlalu cepat. Dan aku merasa banyak perbedaan diantara kita. Biarlah aku pendam. Tak akan aku ungkap hingga tiba saatnya kau tahu alsanku mencintaimu.

Ia tahu sekarang alasan lelaki itu tak berani mengembalikan bros itu. Tapi ia marah dengan sikap lelaki yang begitu plin-plan. Rania ingin marah dan memaki lelaki itu. Tapi untuk apa dia marah? Dan pada siapa ia harus marah?. Ia sadar posisinya hanya sebagai penonton kisah cinta penulis diary itu. Setelah apa yang dia baca barusan, ia merasa harus mengetahui bagaimanakah kisah mereka selanjutnya.
Halaman-halamnya ada yang saling melekat, hingga ia tak bisa mengikuti kisahnya secara tuntas. Hanya bagian-bagian tertentu saja yang bisa ia mengerti. Ia membuka halaman keseratus tigapuluh dua.

Senin, 14 februari 1983
Aku masih menantimu. Namun keberanianku untuk mengungkaprasa yang kupendam kini sirna. Rasa ini semakin lama mendarah daging, namun semakin lama pula kesanggupanku untuk bertahan mulai goyah. Tahun ketiga, tak pernah lelah mananti saat-saat ketika kita bisa merajut asa bersama. Namun apa dayaku. Sepertinya dirimu tak menyadari hadirnya ku yang terus menjaga kesetiaan untukmu.

Rania merasakan ada sesuatu yang menetes di pipinya. Ia menangis. Tak pernah ia menyangka bahwa bukan kebahagiaan yang dirasa sang penulis. Tapi kepedihan karena kesalahannya yang memendam rasa.
Rania mendengar derap langkah kaki di luar pintu gudang, ia mengatur nafas dan segera mengusap airmatanya. Ia tak mau sedang kepergok menangisi buku tua ber tittle tahun 1980 yang ia pegang. Derap langkah kaki itu semakin mendekat. Berhenti. Kemudian melangkah lagi dan semakin lama semakin sayup dan menghilang dari pendengaran. Rania meneruskan semedinya membuka lembar-lembar diary. Ia takjub dengan bahasa yang begitu menyentuh sukmanya hingga ia menangis.
Ia merasa hidupnya belum apa-apa. Ia belum pernah menemukan masalah sekompleks ini dalam kehidupannya. Ia merasa harus belajar mendewasakan diri untuk masa depannya. Dia menbuka lembar keseratus enam puluh lima.







Selasa, 25 september 1984

Haruskah ku akhiri. Gundah melihatmu. Hanya saling tatap sesaat. Tanpa senyum dan kata kata. Apa sebenarnya yang ada di hatimu? Jalanku dan jalanmu memang berbeda. Tapi tahukah kamu. Perbedaan itulah yang membuatku bertahan untuk mencintaimu.
Dan kini. Aku semakin yakin. Inilah jalanku. Dan kita semakin jauh berbeda. Tapi kurasa kau mengerti ini. Meskipun kau terdiam. Tapi hanya aku yang bisa membaca hatimu. Mengerti akan dirimu. Aku takkan memaksamu mencintaiku. Tetaplah dengan apa yang kau yakini. Jika kau cintai yang lain. Hanya satu harapku. Jadikanlah dia yang terakhir dalam hidupmu. Ku ikhlaskan walau perih.

Rania semakin menyadari bahwa cinta lelaki ini tak bisa tersampaikan. Dia membuka halaman selanjutnya. Dan ia terisak membaca lembar terakhir ini.

Rabu, 26 september 1984

Inilah akhir penantianku. Hari ini aku meletakkan mawar putih kesukaanmu di depan pintu rumah. Aku melihatmu kebingungan mencari sosok yang telah meletakkannya. Itu aku. Kau tak perlu tahu. Karena keputusanku sudah bulat. Aku akan mengubur kisah cinta selama empat tahun ini terhadapmu. Karena aku akan menikah dengan wanita pilihan orangtuaku. Aku akan belajar mencintainya, seperti aku mencintaimu.
Aku sakit. Tentu. Karena harus melupakan asa dan mimpi yang ingin kubangun bersamamu. Tapi aku sadar tak selamanya ego harus dituruti. Cukup dengan memandang senyummu telah memberiku hidup. Yang perlu kau tahu hanya satu. Tak pernah kusesali mencintaimu. Karena bisa mencintaimu adalah anugerah terindah dari Allah untukku.

No comments:

Post a Comment