Dia yang mengenakan kemeja biru tua itu mengambil nomor antrian pada mesin di sudut ruangan. Ia membaca nomor antrian, A 2134 kemudian matanya berkeliling melihat papan digital di atas meja petugas di kantor pajak itu.
“ Masih beberapa antrian lagi “. Gumamnya.
Pria itu berjalan mantap menuju salah satu tempat duduk kosong di barisan paling depan. Matanya tertuju pada satu tempat, tempat dimana salah seorang petugas kantor pajak sedang melayani seorang customer. Pada papan nama di meja tersebut tertulis, Raynata. Raynata seorang perempuan kira-kira berusia 26 tahun. Hari ini ia mengenakan dress warna putih. Rambutnya yang panjang dan berwarna agak coklat ia kuncir kuda. Cantik. Batin pria berkemeja biru itu.
“ Antrian dengan nomor A 2134 silahkan menuju meja 4 “. Great. Pria itu kegirangan. Meja nomor 4 adalah meja Raynata. Telah berpuluh kali ia mencoba dan berharap mendapat kesempatan berbincang sejenak dengan wanita muda itu. Ia bergegas melangkahkan kaki.
“ Ada yang bisa saya bantu ? ”. Raynata menyapa sambil tersenyum.
“ Oh, tentu. Saya ingin membayar pajak “.
“ Bisa saya lihat kartu NPWP nya pak? “.
Pria itu menyerahkan NPWP nya segera. Jemari Raynata asik menari di atas keyboard komputer di depannya. Memastikan pemilik NPWP telah terdaftar.
“ Atas nama Bapak Dimas Prasetya, betul ? “.
Pria itu mengangguk.
“ Tunggu sebentar Bapak, saya akan memproses datanya “.
Jemari Raynata kian lincah menari, tetapi kini yang diperhatikan Dimas bukan lagi jemari Raynata yang mungil tetapi kalung yang melingkar di lehernya. Salib. Raynata seorang Nasrani. Dimas meyakininya. Suara printer di samping Raynata menyadarkan Dimas dari lamunannya. Raynata menyerahkan beberapa berkas dan memberikan sedikit petunjuk cara mengisinya pada Dimas. Raynata bekerja dengan cepat dan teliti. Selesai. Raynata mengakhiri pembicaraan.
“ Terimakasih Bapak “. Senyumnya mengembang. Kemudian matanya kembali menekuni layar komputer.
Dimas tertegun. Ia telah jatuh cinta pada perempuan itu sejak pertamakali ia melihatnya berada di kantor itu. Hatinya mengatakan Raynata adalah jodohnya. Tetapi hari itu, keyakinannya yang mengatakan bahwa Raynata adalah jodohnya runtuh seketika.
“ Kalung salib, Raynata seorang Nasrani “. Gumamnya kaku.
***
Dimas melangkahkan kaki dengan gontai. Ia melirik jam tangan model Army di tangan kirinya. Pukul satu malam. Bi Asih membukakan pintu.
“ Assalamu’alaikum bi’, maaf ya Dimas pulang telat lagi, bibi harus repot membukakan pintu tengah malam “. Kataku.
“ Wa’alaikumsalam. Nda papa aden.. bibi habis shalat tahajud, memang sengaja bangun. Eh ternyata aden datang “. Wajah bi Asih sumringah. Aku tahu beliau jujur. Aku masuk kedalam kamarku di lantai satu. Ayah dan ibu pasti sudah tidur. Tita juga pasti sudah melanglang buana sampai ke Amerika. Lampu kamar kunyalakan. AC tak kuhidupkan, jendela kamar yang menghadap ke taman kubuka lebar-lebar agar angin bisa masuk dengan leluasa, untungnya tak ada nyamuk. Aku mengambil handuk. Mandi. Selesai mandi dan berganti pakaian, kuhamparkan sajadah. Aku rindu pada-Nya setelah mengalami kejadian patah hati siang tadi. Siapa lagi kalau bukan karena Raynata. Aku berdoa macam-macam, menangis di sepertiga malam terakhir. Baju kokoku basah oleh air mata. Aku mengadu dan bercerita hingga puas. Aku berdo’a,
“ Ya Allah, aku mohon, berikanlah kemudahan menuntunnya di jalan-Mu. Amien “.
***
Dimas berangkat ke kantor seperti biasa. Meskipun kepalanya masih pening akibat menangis tadi malam, ia tetap terlihat sebagai Dimas yang berwibawa dan tentu saja tampan. Bulan demi bulan telah ia lewati dengan baik. Ia memang belum melupakan Raynata sepenuhnya. Tetapi semenjak ia tahu Raynata seorang Nasrani, ia selalu menyuruh Anton yang pergi ke kantor pajak. Ia takut bertemu Raynata. Takut perasaannya terhempas lagi. Ia takut pada ketakutannya sendiri.
Pagi itu baru pukul delapan pagi, tetapi kantor sudah ramai, padahal aktivitas kantor baru dimulai pada pukul sembilan. Entah mengapa, mungkin para karyawan lebih betah berada di kantor pagi-pagi daripada terjebak kemacetan di jalanan.
“ Pagi, Pak “. Agnes menyapanya.
Dimas tersenyum. Agnes adalah sahabatnya ketika SMA. Selepas kuliah mereka bertemu lagi. Dan saat itu Dimas telah diberi tampuk kepemimpinan PT Arya Seta yang bergerak di bidang penerbitan oleh ayahnya. Oleh karenanya Dimas mengajak Agnes bekerja di perusahaannya. Mengingat prestasi Agnes yang membanggakan. Ia berhasil meraih cumlaude pada program master manajemen yang ia ambil di Australia. Tentu saja, Agnes adalah aset besar perusahaannya.
Agnes hobi menggoda Dimas dimana saja. Apalagi menggoda masalah yang sangat privasi. Istri.
Agnes menganggap Dimas seperti kakaknya sendiri. Ia sering berkata pada Dimas, ia tak mau melihat Dimas menjadi perjaka tua. Apalagi sekarang ini Agnes yang telah berumur 28 tahun telah menikah dan memiliki seorang baby yang lucu.
Dimas mencubit pipi Agnes. Lalu berlari masuk keruangannya sambil menyeringai.
Pukul sepuluh pagi. Dimas keluar dari ruangan menuju ke arah pantry, ia ingin membuat kopi kesukaannya. Tetapi langkahnya terhenti sejenak. Ia melihat seorang perempuan berbaju maroon duduk di samping Agnes. Perempuan itu sedang bercakap-cakap dengan Agnes. Seru. Ia tercekat. Tubuhnya gemetar, tak salah lagi. Itu Raynata. Hatinya kelu, cinta diam-diamnya ternyata telah mendarah daging dan kini menggerogoti hatinya perlahan-lahan. Tetapi akhirnya, ia membuat keputusan. Ia mantap melangkahkan kaki menuju stand Agnes.
“ Eh, lagi ngapain ?”. Tanyanya basa basi. Agnes dan Raynata mendongak.
“ Halooo ... aku lagi ngobrol nih, eh kenalin ini Raynata “. Agnes memperkenalkan Raynata. Ia tersenyum sambil mengangguk.
“ Ray.. “. Katanya.
“ Dimas “.
Itulah pertamakalinya dia benar-benar mengenalnya. Raynata. Perempuan Nasrani yang benar-benar telah merebut hatinya.
***
“ Aku suka eskrim coklat “.
“ Lebih enak yang strawberry, Ray “.
“ Hahahaha... “. Kami tertawa. Entah apa yang kami tertawakan saat itu. Aku suka sekali memandang wajahnya. Cantik orang Indonesia. Make upnya natural.
“ Jangan memandangaku seperti itu, Dim “. Dia cemberut.
Aku tertawa dalam hati. Aku juga suka malihat berbagai ekspresinya. Saat dia tertawa, saat ngambek, saat tersenyum.
Tak terasa telah satu tahun kami menjalin hubungan. Tentu saja tanpa sepengetahuan ayahku. Ayah . Ah.. aku terlalu takut berbicara pada ayah. Mengapa? Karena kami berbeda.
***
Dimas sampai dirumah tepat pukul delapan malam. Ia menutup pintu mobil Toyota Rushnya perlahan. Ia memasuki halaman rumah. Cahaya lampu di dalam rumah begitu hangat.
“ Mungkin Ayah dan Ibu belum tidur “. Pikirnya.
Dimas masuk kedalam rumah dan melewati ruang keluarga. Ada ayah, ibu, dan Tita.
“ Nak, cepat mandi da ganti baju. Ayah dan ibu ingin bicara “. Dimas mengangguk dan melangkahkan kaki dengan cepat. Perasaannya bergejolak. ia tahu, tentu ayah dan ibu akan membicarakan sesuatu yang sangat penting. Dimas mandi dengan cepat kemudian berganti pakaian dan kembali keruang keluarga. Dimas duduk tepat didepan ayahnya, memangku bantal dan berusaha duduk dengan nyaman.
“ Nak... “. Ayahnya sengaja menggantung kata-katanya.
“ Ayah tahu kamu telah memiliki seorang calon istri. Mengapa tidak kamu perkenalkan ?”. Dimas tercekat. Bagaimana ia bisa memperkenalkan Raynata pada keluarganya, jika jelas-jelas mereka berbeda.
“ Nak.. Ayah tak pernah melarangmu mengenal seorang perempuan. Tapi apa baik jika kamu ... “. Ayah berhenti sejenak karena tiba-tiba ibu menangis.
Ayah meneruskan.
“ Ayah tahu Raynata, Dim “. Dimas mengangkat kepalanya. Matanya menerawang memandang ayah.
“ Mengapa kamu memilih dia?. Bukankan ayah pernah berkata padamu, ayah tak pernah melarangmu mengenal seorang perempuan, tapi mengapa harus Raynata?. Raynata berbeda denganmu, dia Nasrani. Tidak bisakah kamu mencari seorang calon istri yang muslimah ?“.
“ Nak, selesaikan urusanmu dengan Raynata. Carilah perempuan lain yang muslimah. Ibu tak akan pernah setuju jika kamu tetap menikahi Raynata “. Ibu berkata dengan tegas. Beliau masuk kedalam kamar meninggalkan Dimas yang kini terdiam kaku di sofa. Ayah menyusul ibu kedalam kamar, sedangkan Tita berdiri, lalu menghampiri dan mengusap punggung Dimas dengan lembut sambil berkata,
“ Mas, apakah bisa seandainya mbak Ray ... “.
“ Sudahlah, Ibu sudah menolak Ray, apa yang bisa aku lakukan ta ?. Dimas mengusap kepala Tita sambil tersenyum.
“ Bawalah mbak Ray masuk Islam mas “. Kata-kata Tita menggetarkan hati Dimas.
***
“ Ray, bisakah kita menikah ?”. Aku bertanya pada Ray.
“ Kita berbeda, Dim. Apa kamu bisa menjalaninya seperti ini ?”.
“ Bagaimana jika kamu masuk Islam ?”. Aku bertanya terus terang pada Ray. Ray terdiam, bulir-bulir air matanya jatuh perlahan. Dia menggeleng keras.
“ Aku tak siap jika harus kehilanganmu juga kehilangan keluargaku, Dim “.
Raynata berdiri. Ia meninggalkanku sendirian disini. Barakhir begini saja?. Aku tak menyangka jika harus berakhir seperti ini. Aku mencintainya seperti mencintai keluargaku. Tapi, aku tahu mengubah keyakinan, memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Aku terduduk lemas. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh. Ray. Ia tersenyum padaku. Ia telah mengusap air matanya. Aku ingin tertawa melihat bedaknya yang luntur. Tapi urung. Karena kata-katanya telah membuatku menangis haru saat itu juga.
“ Dimas, aku siap. Sangat siap masuk Islam. Aku siap menjadi pendamping hidupmu. Menjadi ibu dari anak-anak kita. Aku telah mempelajari Islam bahkan jauh hari sebelum kamu memintaku menjadi seorang muslim. Aku telah menemukan kebenaran. Islamlah yang benar. Aku siap masuk Islam meskipun aku harus kehilangan apa yang aku miliki sekarang “.
No comments:
Post a Comment