Friday 22 August 2014

Sekelumit Catatan - Part 1

Selamat datang di cita cerita cinta
Menerima surat surat cinta dan curhatan tentang cinta
Apakah kalian siap menceritakan kisah cinta kalian disini?



Total sebanyak delapan jam aku habiskan di depan laptop hari ini. Sepulang kuliah pukul empat sore, mandi dan bebenah diri, melakukan aktivitas pembersihan diri seperti yang biasa aku lakukan, menghirup teh panas yang aku buat sendiri dengan tingkat kemalasan yang tinggi. Ditemani cookies coklat pesanan yang baru saja diantar. Suara ram menderit derit terdengar ketika laptop usang yang belum menginjak core  ini aku hidupkan. Seperti biasa, setelah modem mendeklarasikan kata connected  dengan segera senyumku merekah. Dengan kecepatan tangan kanan diatas mouse, aku klik jendela google chrome yang setia menjadi pintu utama memasuki gmail.com . oh, tentu saja banyak email baru yang belum kubuka hari ini, cukup banyak maksudku, ada lima buah email baru. Email-email ini ber- subjek sama, cinta. Kisah apa lagi yang aku terima hari ini?




***
            Jangan pernah anggap kamu kasihan ketika menerima cinta seseorang, karena sebenarnya perasaan kasihan itulah yang ternyata cinta.

Dear Cita,
Aku akan menceritakan kisahku, aku winda dan sekarang aku hampir menjalani tiga tahun kebersamaan bersama orang ini. Orang yang dulu aku terima cintanya atas dasar rasa kasihan.
            Sore itu,
            “ Win, ada acara nggak nanti malam? “
            “ Ehm . aku nggak ada acara “
            “ gimana kalau kita makan malam ini? “
            “ Boleh “
            “ Aku jemput jam 7 ya “
            “ oke. Aku tunggu “
Percakapan singkat ini dulu begitu aku sesali. Aku membodoh-bodohkan diriku seharian. Ya. dia mengajakku makan malam. Sebut saja Bunga, ah tidak, mungkin lebih pantas jika aku beri tahu namanya, aku biasa memanggilnya Andi. Laki-laki ini aneh. Hahaha. Memang tak seaneh namanya. Dia teman seangkatanku, aku tak pernah benar-benar membencinya tetapi juga tak pernah benar-benar menyukainya. Kamu paham maksudku? Sampai detik ketika aku menuliskan email ini padamu, aku juga masih belum memahami diriku sendiri.
Malam itu aku berdandan. Jangan kamu mengira aku berdandan untuk si Andi ini. Tidak. Aku memang selalu berusaha terlihat cantik. Aku senang ketika aku merasa cantik. Ah cukup. Aku jadi ngelantur. Kita kembali ke malam itu.
Aku mematut-matut diri di depan cermin, gaun cifon  pink ini agaknya terlalu berlebihan jika aku mengenakannya hanya untuk makan malam dengan Andi. Tetapi aku menyukainya. Kamu percaya? Akhirnya aku benar-benar memakainya malam itu.
Pukul 6 aku sudah siap. Mama duduk sambil menahan senyum melihat aku keluar dari kamar,
“ Jadi ? “, mama menggodaku.
“ Ah mama “
            Kamu perlu tahu, Cita. Mamaku ini pernah bertemu Andi sekali. Ya. Hanya sekali. Dan mamaku adalah orang yang tertawa paling keras ketika bertemu dengan Andi. Andi yang hitam, kurus, berkacamata, berambut klimis, dandanan acak-acakan. Aku pusing mengingatnya. Tetapi mama sangat baik malam itu, mama membiarkan anaknya yang cantik ini makan malam dengan laki-laki yang dulu ia tertawakan. Kata mama malam itu, “ Yah, anak muda memang suka buta kalau masalah cinta ”.
            Kamu tahu, Cita. Malam itu aku memang buta. Buta sebuta-butanya. Entahlah.
Aku menunggu Andi di ruang tengah bersama mama. Mama menonton sinetron kesukaan, mungkin tak perlu aku sebut judulnya disini. Motor Andi meraung- raung. Aku berharap bisa menceburkan motor itu kedalam got. Aku pamit pada mama dan bergegas membuka gerbang depan. Sebenarnya yang paling aku sesali malam itu adalah gaun yang aku pakai. Andi menjemputku menggunakan motor bututnya, dia hanya memakai kaus oblong warna abu-abu dan celana jeans belel. Oh God. Jujur saja malam itu aku meralat keinginanku, aku berharap bukan motor Andi yang masuk kedalam got. Tapi Andi !!!
            Kamu bisa bayangkan, aku sudah bendandan cantik memakai gaun dan Andi datang dengan kaus oblongnya. Yah, sejujurnya itu juga salahku. Aku tak pernah bertanya padanya “makan malam” seperti apa yang akan dia siapkan untukku. Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Dan sesuai dugaan, Andi mengajakku ke angkringan –tempat makan di pinggir jalan- bukan restaurant di hotel bintang lima. Hahaha.
            Aku menikmati malam itu. Aku lebih banyak berceloteh dan dia menjadi pendengar. Aku rasa dia pendengar yang baik. Sesekali ia melemparkan komentar, bukan sekedar komentar basa-basi agar terlihat sopan tetapi komentar tertarik dengan apa yang aku ceritakan. Menyenangkan mendapatinya seperti ini.
            Cita, menurutmu apakah ini cinta yang benar-benar cinta? Sejujurnya aku bertanya karena mungkin aku ini dungu.
Salam, Winda.

***
            Cita tersenyum membaca surat pertamanya.  Ia berfikir sejenak kemudian menekan tombol Reply.
           
Dear Winda,
Tahukah kamu bahwa sejatinya jatuh cinta itu seperti makan coklat bombastis? Awalnya kamu enggan mencoba karena takut salah makan coklat yang rasanya aneh, tetapi sekali kamu mencoba kamu akan terus penasaran rasa apa yang akan kamu makan berikutnya.
Cinta itu tak lagi sama ketika kamu bertanya apakah itu cinta atau hanya perasaanmu saja. Cinta tak akan lagi sama ketika kamu mencari tahu apakah perasaan itu benar cinta adanya.  Percayalah tak akan ada lelaki baik yang memperjuangkanmu kecuali yang ia rasakan adalah cinta. Jadi kamu tak dungu, hanya saja belum mencoba untuk percaya bahwa lelakimu adalah yang terbaik.
Regards, Cita
***

Surat balasannya selesai, Cita klik tombol send. Cita berharap Winda tak lagi “dungu” seperti yang dikatakan olehnya.

No comments:

Post a Comment