Selamat datang di cita
cerita cinta
Menerima surat surat
cinta dan curhatan tentang cinta
Apakah kalian siap
menceritakan kisah cinta kalian disini?
Total sebanyak delapan jam aku
habiskan di depan laptop hari ini. Sepulang kuliah pukul empat sore, mandi dan
bebenah diri, melakukan aktivitas pembersihan diri seperti yang biasa aku
lakukan, menghirup teh panas yang aku buat sendiri dengan tingkat kemalasan
yang tinggi. Ditemani cookies coklat pesanan yang baru saja diantar. Suara ram
menderit derit terdengar ketika laptop usang yang belum menginjak core ini aku hidupkan. Seperti biasa, setelah modem
mendeklarasikan kata connected dengan segera senyumku merekah. Dengan
kecepatan tangan kanan diatas mouse, aku klik
jendela google chrome yang setia menjadi pintu utama memasuki gmail.com . oh, tentu saja banyak email
baru yang belum kubuka hari ini, cukup banyak maksudku, ada lima buah email
baru. Email-email ini ber- subjek sama, cinta.
Kisah apa lagi yang aku terima hari ini?
***
Jangan pernah anggap kamu kasihan ketika
menerima cinta seseorang, karena sebenarnya perasaan kasihan itulah yang
ternyata cinta.
Dear Cita,
Aku akan
menceritakan kisahku, aku winda dan sekarang aku hampir menjalani tiga tahun
kebersamaan bersama orang ini. Orang yang dulu aku terima cintanya atas dasar
rasa kasihan.
Sore
itu,
“
Win, ada acara nggak nanti malam? “
“
Ehm . aku nggak ada acara “
“
gimana kalau kita makan malam ini? “
“
Boleh “
“
Aku jemput jam 7 ya “
“
oke. Aku tunggu “
Percakapan
singkat ini dulu begitu aku sesali. Aku membodoh-bodohkan diriku seharian. Ya.
dia mengajakku makan malam. Sebut saja Bunga, ah tidak, mungkin lebih pantas
jika aku beri tahu namanya, aku biasa memanggilnya Andi. Laki-laki ini aneh.
Hahaha. Memang tak seaneh namanya. Dia teman seangkatanku, aku tak pernah
benar-benar membencinya tetapi juga tak pernah benar-benar menyukainya. Kamu
paham maksudku? Sampai detik ketika aku menuliskan email ini padamu, aku juga
masih belum memahami diriku sendiri.
Malam itu aku
berdandan. Jangan kamu mengira aku berdandan untuk si Andi ini. Tidak. Aku
memang selalu berusaha terlihat cantik. Aku senang ketika aku merasa cantik. Ah
cukup. Aku jadi ngelantur. Kita kembali ke malam itu.
Aku
mematut-matut diri di depan cermin, gaun cifon
pink ini agaknya terlalu berlebihan
jika aku mengenakannya hanya untuk makan malam dengan Andi. Tetapi aku
menyukainya. Kamu percaya? Akhirnya aku benar-benar
memakainya malam itu.
Pukul 6 aku
sudah siap. Mama duduk sambil menahan senyum melihat aku keluar dari kamar,
“ Jadi ? “,
mama menggodaku.
“ Ah mama “
Kamu
perlu tahu, Cita. Mamaku ini pernah bertemu Andi sekali. Ya. Hanya sekali. Dan
mamaku adalah orang yang tertawa paling keras ketika bertemu dengan Andi. Andi
yang hitam, kurus, berkacamata, berambut klimis, dandanan acak-acakan. Aku
pusing mengingatnya. Tetapi mama sangat baik malam itu, mama membiarkan anaknya
yang cantik ini makan malam dengan laki-laki yang dulu ia tertawakan. Kata mama
malam itu, “ Yah, anak muda memang suka buta kalau masalah cinta ”.
Kamu
tahu, Cita. Malam itu aku memang buta. Buta sebuta-butanya. Entahlah.
Aku menunggu Andi di ruang tengah
bersama mama. Mama menonton sinetron kesukaan, mungkin tak perlu aku sebut judulnya
disini. Motor Andi meraung- raung. Aku berharap bisa menceburkan motor itu
kedalam got. Aku pamit pada mama dan bergegas membuka gerbang depan. Sebenarnya
yang paling aku sesali malam itu adalah gaun yang aku pakai. Andi menjemputku
menggunakan motor bututnya, dia hanya memakai kaus oblong warna abu-abu dan
celana jeans belel. Oh God. Jujur saja malam itu aku meralat keinginanku, aku
berharap bukan motor Andi yang masuk kedalam got. Tapi Andi !!!
Kamu
bisa bayangkan, aku sudah bendandan cantik memakai gaun dan Andi datang dengan
kaus oblongnya. Yah, sejujurnya itu juga salahku. Aku tak pernah bertanya
padanya “makan malam” seperti apa yang akan dia siapkan untukku. Sepanjang
perjalanan aku hanya diam. Dan sesuai dugaan, Andi mengajakku ke angkringan
–tempat makan di pinggir jalan- bukan restaurant di hotel bintang lima. Hahaha.
Aku
menikmati malam itu. Aku lebih banyak berceloteh dan dia menjadi pendengar. Aku
rasa dia pendengar yang baik. Sesekali ia melemparkan komentar, bukan sekedar
komentar basa-basi agar terlihat sopan tetapi komentar tertarik dengan apa yang
aku ceritakan. Menyenangkan mendapatinya seperti ini.
Cita,
menurutmu apakah ini cinta yang benar-benar cinta? Sejujurnya aku bertanya
karena mungkin aku ini dungu.
Salam, Winda.
***
Cita
tersenyum membaca surat pertamanya. Ia
berfikir sejenak kemudian menekan tombol Reply.
Dear Winda,
Tahukah kamu
bahwa sejatinya jatuh cinta itu seperti makan coklat bombastis? Awalnya kamu
enggan mencoba karena takut salah makan coklat yang rasanya aneh, tetapi sekali
kamu mencoba kamu akan terus penasaran rasa apa yang akan kamu makan
berikutnya.
Cinta itu tak lagi sama ketika kamu
bertanya apakah itu cinta atau hanya perasaanmu saja. Cinta tak akan lagi sama
ketika kamu mencari tahu apakah perasaan itu benar cinta adanya. Percayalah tak akan ada lelaki baik yang memperjuangkanmu
kecuali yang ia rasakan adalah cinta. Jadi kamu tak dungu, hanya saja belum
mencoba untuk percaya bahwa lelakimu adalah yang terbaik.
Regards, Cita
***
Surat balasannya selesai, Cita klik tombol send. Cita berharap Winda tak lagi
“dungu” seperti yang dikatakan olehnya.
No comments:
Post a Comment